Senin, 30 Mei 2016

Aku & Gubuk KecilKu "Broken Home" (Part 1)

“Sayang, kamu harus fokus sama ngaji & sekolah kamu, jangan mikir yang macam-macam ya, tugasmu hanya belajar” kata-kata yang selalu terngiang, ketika ayah berusaha menenangkanku dalam situasi yang sama sekali tidak aku inginkan ini, situasi yang tidak bersahabat ini.

“gimana aku mau ngga memikirkan itu, sedangkan otakku masih menempel dikepalaku!” ucapku dalam hati sembari memandang keluar lewat jendela kamar yang sengaja aku buka, saat hujan sedang turun membasahi bumi.


“ada apa ini, ada apa dengan mata ini? Ya Allah, kenapa aku menangis?” gumamku perlahan sambil mengusap air mata yang dengan derasnya membasahi pipiku.

“Aku akan pergi dari rumah ini, lebih baik aku tinggalkanmu!” Teriak ayahku yang jelas mengalahkan derasnya air hujan yang menjatuhi atap rumahku.

“Ada apa ini? Apa yang terjadi lagi?” tanyaku sendiri sambil mengintip lewat celah pintu kamar yang kubuka sedikit.

“Ayah mau pergi?” tanyaku lagi dalam hati

“Kalau mau pergi, silahkan saja pergi!” ibuku membalas teriakan yang sama, dengan nada tinggi yang sama seperti ayah

“Braaakkkkkk!!!!!!!” terdengar suara pintu yang ditutup keras oleh ayah dengan penuh emosi

“Kamu mau tinggalin anakmu juga? Dia ngga tau apa-apa!” Teriakan Ibu yang semakin menjadi

“Urusin kamu sendiri! Kamu yang katanya semua bisa dilakukan sendiri, ngga butuh suami!” balas teriakan ayah yang sambil berjalan menghampiri motor yang akan ikut dibawa pergi bersamanya

Aku terdiam dibelakang pintu, aku bingung, aku tidak tau harus bagaimana untuk melerai mereka. Aku tidak bisa berfikir lagi, emosi itu justru ikut masuk kedalam diriku melihat pertengkaran yang seakan tidak ada habisnya itu.
Aku keluar dari kamar, aku tutup keras-keras pintu kamarku.

“Punya orang tua udah kaya anjing sama kucing!! Ngga pernah ada akurnya!! Ngga liat anaknya udah gede gini? Udah bisa mikir gini? Aku benci kalian!! Ngga usah ada yang pergi, biar aku yang pergi aja dari kalian!! Kalian tega!! Kalian Jahat!!” Aku langsung teriak dan pergi begitu saja setelah aku bicara dengan nada penuh emosi.

Aku kecewa…Aku ingin berteriak, aku ingin memaki keadaan ini. Aku lari sekencang-kencangnya, menerobos derasnya air hujan yang perlahan telah membasahi seluruh pakaian yang aku kenakan.
Aku terus berlari sekencang-kencangnya, berharap kejadian yang menyakitkan tadi tidak mengikutiku lagi.
Aku berhenti diantara pohon tua yang masih kokoh berdiri diatas tanah yang sama saat ini aku berdiri diatasnya. Aku kepalkan kedua tanganku, aku pukuli pohon yang tidak tau apa-apa itu.
Air mataku jatuh tak tertahankan. Aku menangis lagi, sendirian. Aku tidak tau harus bagaimana lagi menghadapi ini semua.

“Yaa Allah, mengapa harus aku? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Ayah…Ibu… apa kalian sudah tidak menyayangiku lagi? Apa kalian tidak mengerti perasaanku? Kalian sudah tidak peduli lagi padaku!” ucapku dalam hati sambil teru menangis. Tangisanku semakin menjadi. Aku seperti berada diujung tebing kehancuran yang bisa kapanpun jatuh kedalam kehidupan yang gelap dibawahnya. Aku merasa tidak kuat lagi, aku merasa begitu hancur, hancur tak tersisa.

Aku duduk bersandarkan pohon, aku tidak mempedulikan seberapa banyak air hujan yang telah terjatuh mengenai tubuhku. Yang aku tau, air hujan yang telah menghapus air mataku.
Aku terkurai lemas, aku tidak berdaya lagi.

“Aku harus kemana? Aku harus mengadu ke siapa? Apa ayah benar-benar mau pergi ninggalin aku? Apa ibu juga membiarkan ia pergi?” tanyaku sendiri dalam hati, terasa menusuk-nusuk hatiku ketika aku kembali diingatkan dengan kejadian itu.

“Aku harus pulang, rumahku ngga boleh ditinggal!” ucapku lagi dalam hati

Aku bangkit, aku berjalan, tapi seakan melayang. Aku merasakan begitu hampa. Aku tidak bisa menangis lagi.
Aku sampai dan langsung masuk kedalam rumah.

“dimana Ayah? Dimana Ibu? Apa mereka mencariku?” pikirku dalam hati

Aku liat jam dinding, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Tidak terasa aku menyendiri dalam derasnya air hujan selama 3 jam. Dalam tangisan yang terus dihapus oleh air hujan yang terjatuh membasahi seluruh wajahku. Aku langsung ambil handuk dan mengelap sisa air hujan yang telah membasahi seluruh tubuhku. Aku masuk kedalam dapur berharap ada sesuatu yang bisa aku makan, ternyata memang tidak ada makanan disana.

“Aku lapar!” desahku sambil mengusap perut kecilku

dan akhirnya aku putuskan buat tidur saja, berharap bangun nanti aku sudah tidak merasa lapar lagi.

“Buat Anakku”

“kertas apa ini?” tatapku heran sambil mulai membaca isi tulisan dalam kertas itu



“Buat Anakku,


Sayang, Ibu sama Ayah lagi pergi sebentar kerumah kakekmu yaa, kamu dirumah saja. Kalau lapar kerumah eyang saja dulu, minta makan disana. Ibu sama Ayah tidak lama.



(Ibu)


“ada apa lagi sebenarnya yang terjadi? Kenapa tiba-tiba mereka kerumah kakek tanpaku? Apa aku sudah tidak dianggap lagi?” gumamku dalam hati dengan nada kesal dan kuremas-remas kertas yang sedang aku pegang.

Aku langsung masuk kedalam kamarku, aku tutup dan aku kunci pintu.

“Apa ini semua akan baik-baik saja? Aku tidak yakin!” pikirku lagi

Aku matikan lampu kamar, aku duduk diatas kasurku. Tatapanku kosong, aku merasakan bahwa sekarang aku bukan lagi berada diujung tebing kehancuran, melainkan aku benar-benar sudah tepat berada didasarnya. Gelap, tak ada cahaya.
Aku merebahkan perlahan tubuhku, aku tatap langit-langit rumah yang terlihat gelap, tapi entah apa yang aku lihat, pertengkaran itu seakan-akan masuk kedalam jiwaku. Aku tidak bisa melakukan apapun lagi, aku lumpuh! Lumpuh karena rasa sakit ini.

“aku kuat!! Aku hebat!!” desahku dalam hati sambil kucoba menutup mata




Bersambung…

1 komentar: